Awal (part 1)

September, 15th 2018

             Aku bangun lebih awal. Sadar hari sabtu tidak ada kuliah, pastilah kamar mandi akan menjadi suatu tempat yang paling sibuk, makannya setelah subuh, aku memutuskan untuk merendam pakaian kotorku yang sudah terlalu lama menunggu dalam keranjang, meronta ingin keluar. Tidak butuh waktu lama, sepuluh menit sepertinya cukup untuk mandi. Lebih lebih penghuni kos agaknya masih nyaman dengan kasurnya, kaum rebahan. Tidak apalah jika aku mencuri waktu lebih lama memanjakan diri dikamar mandi. Airnya terasa dingin tapi segar. Saat kuambil dan kuangkat gayung untuk pertama, partikel-partikel hidrogen terjun bebas mengguyur tubuhku, aku menikmati setiap tetes yang jatuh, menyentuh lembut menyapa kepala, rambut, dan kulit ku sebelum akhirnya jatuh dampak gravitasi bumi. Kuambil lagi gayung untuk kedua kalinya, masih sama. Kuambil lagi yang ke-tiga, lalu

                 Tok! Tok! Tok!
Sial. Kenikmatanku terusik.

                 “Di dalam siapa?”
                 “Rara,”
                 “Ra, masih lama? Bisa tolong keluar? Gak kuat nih, mules,”

Aku tidak langsung menjawab, hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Cukup menggambarkan respon terhadap hal yang tidak di-inginkan terjadi saat itu juga.

                 “Iyaa, bentar,”

Aku mengalah, ku raih handuk biru muda yang tergantung, lalu mengusapkan pada tubuhku, dan segera kukenakan pajamas biru dongker yang kutaruh bersebelahan dengan handuk biru tadi.

                 Krek!
                 “Aduhh sorry Ra, gue udah gak tahan,”

Terlihat jelas memang, begitu aku keluar Dita langsung nyelonong masuk, mirip pelari marathon. Baru saja aku melangkahkan satu kakiku, dia juga melangkahkan kaki satunya masuk kedalam, dan buru-buru mendorongku agar cepat-cepat pergi dari pintu, setelah itu dengan cepat pintu sudah buru buru ditutup olehnya. Bisa dibayangkan bagaimana suara pintu yang ditutup dengan cepat. Kamu akan mengetahuinya jika kamu ada di posisi Dita saat ini.

                 “Ta, jangan kelamaan didalem ya!”
                 “Iyaaa,”

Oke. Kayaknya dia bakal lama didalam sana. Aku berniat membuat sarapan sambil menunggu Dita selesai dengan hadast-nya. Kupikir karena letak dapur memang bersebelahan dengan kamar mandi, jadi itu cukup dekat dari pada aku harus duduk diam pada kursi dipan yang memang sengaja disediakan didepan kamar mandi untuk anak-anak kost selagi menunggu ketika kamar mandi sedang digunakan. Beberapa langkah kaki ku gunakan untuk membawa ragaku yang sudah terlanjur kuyup menuju tempat dengan berbagai perabot dan perlengkapan masak, serta benda kecil yang bagi anak-anak kost seperti kami adalah "benda istimewa", yaps! kita menyebutnya "kulkas". Tidak cukup besar memang, tapi cukup untuk menyimpan makanan, minuman dan bahan-bahan mentah lainnya. Sebagai anak rantau, fasilitas kost dengan set dapur lengkap ditambah kulkas adalah hal yang mewah. Selain bisa menghemat pengeluaran dengan memasak sendiri makanan untuk kebutuhan perut, Kulkas juga bisa untuk menyimpan sisa makanan kemarin untuk dimakan besoknya. 

Aku membuka benda istimewa itu, melihat-lihat kedalam, ada beberapa baris tulisan disana. "Ditaa:)", "Punya Ayu", "Dif4", "Tomoyaa", "Nends" "hak orang", "jgn dimakan!", "Ais", "eyang kakung", "Rend", "ambil aja", dan punyaku "R.A". Setiap tulisan-tulisan tadi menunjukan kepunyaan milik, meskipun ada beberapa yang tidak memiliki tuan, yang boleh dinikmati bersama. Iyaa, kadang ada orang baik yang sengaja menaruhnya disana. Pada dasarnya konsep berbagi masih kami pegang teguh disini, didalam kounitas kecil yang disatukan oleh satu bangunan gedung dan satu persamaan yaitu rasa yang  melekat yang hanya dirasakan oleh kami sebagai perantau.
Aku mengambil dua jenis yang keduanya dilabeli tulisan "R.A" oleh tanganku sendiri, walaupun label sebenarnya tertulis "Sari Roti" pada bungkus plastik itu, pada jenis lain aku tidak begitu mempedulikan apa label sebenernya, aku lebih suka menyebutnya selai dan aku tetap cantumkan "R.A", dikedua jenis itu. 
Aku juga mengambil beberapa bungkus lagi di tempat lainnya, namun kali ini bukan label yang sama "Sari Roti", ataupun sesuatu seperti selai, bungkus ini adalah salah satu minuman favoritku.
Sungguh, lagi-lagi aku akan mengatakan bahwa fasilitas di kost ini lengkap. Aku hanya perlu menekan tombol dengan lampu merah diatasnya, lalu air panas akan keluar darinya. Sangat mudah untuk membantuku membuat secangkir coklat panas menemani sarapanku pagi. Mantapp! Sementara menunggu hangat, aku mengolesi roti tadi dengan selai, belum selesai selai itu kuratakan, ada suara dari arah belakangku. 

                 “Eh Ra, selamat pagi,”

Aku berniat memastikan siapa sosok dari suara itu, namun tiba-tiba sosoknya sudah berada di sebelahku.

                 “Wihh repot-repot,”

Seketika secangkir coklat panas ku sudah pindah ditangannya, dan dengan pelan diseruput olehnya. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

                 “Sat, itu coklat ku.” tentu saja dengan nada kesal.
                 “Sekarang sudah jadi coklatku,” sungguh sangat menyebalkan sekali ekspresi senyum yang dia tampilkan.

                   “Makasih yaa,” Ledeknya lagi.

Aku hanya diam, ekspresiku datar. Rasanya bukan anak kos namanya kalau nggak main ambil tanpa ijin. tapi yasudahlah, aku tidak ingin repot-repot memperpanjang urusan sepele dan memilih untuk merelakan secangkir coklat panas yang nikmat tiada dua lenyap bersama hilangnya bayangan maling. Maling yang beraksi terang-terangan langsung di pemilik rumah, didepanku, tapi toh aku masih bisa membuatnya lagi. Mari anggap saja itu sebagai sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Aku melanjutkan dengan roti dan selai tadi. Setelahnya barulah aku membuat lagi secangkir coklat panas.

                 “Alhamdulillah,” muncullah Dita yang telah lama berkutat bersama sisa sisa ampas makanan yang dia lahap semalam, atau satu minggu yang lalu.
                 “Udah Ta?”
Dia mengangguk,

                 “Gila, gara-gara semalem kali ya,”
                 “Kenapa?”
                 “Semalem, selse rapat HIMA, gue sama temen-temen nyobaik ayam geprek sebelah borma yang baru buka itu, mumpung lagi ada promo. lu tau level berapa yang gue pesen?”
                 “Enggak,”
                 “Tiga puluh lima, wagilaaa puedesss banget!”
                 “Gilla! Lu makan ayam pake cabe, apa makan cabe pake ayam?”
                 “Beuhhh, lu kudu coba deh, serius. Endulssss!”
                 “Mohon maaf Ibu, sungguh saya sangat menyayangi lambung saya satu-satunya,”
                 “Hallah cemen lu, paling mentok level tiga"
                 "Biarin! udah belum? gue mau lanjut mandi,”
Segera kutarik tangan Dita agar badannya tak menghalagi jalan, lalu aku melenggang kedalam segera pintu ku tutup, bersamaan samar-samar terdengar di balik pintu bagaimana dia protes atas ulahku.

                 “Ihhh dasar ya,” “Eh Ra, ini roti buat gue? Makasih ya, ditampi nih,” 

Aku baru ingat, belum sempat kutelan roti yang tadi. Buru-buru aku membuka pintu, berniat mencegah. lagi. Sekarang roti selai telah lenyap digondol Dita.

                 "Oke, pencuri kedua.”

Pagi itu seperti biasa, akan ada percakan-percakapan kecil yang mewarnai suasana kost, tempat tinggal bagi kami, anak rantau, anak kuliahan sepertiku. Rara Sekar Adhyaksa. Seorang mahasiswa semester tiga, Design Komunikasi Visual di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. Ini adalah kali pertamaku sebagai anak rantau, sembilan belas tahun terbiasa hidup di Yogyakarta, suasana Bandung merupakan suasana yang asing bagiku, tidak hanya lingkungan yang baru, begitupun budayanya, interaksi sosialnya, bahasa daerah yang sampai saat ini hanya tau kulitnya saja. Bagiku seorang half introvert akan sedikit kesulitan untuk menyesuaikan diri. Tapi beruntungnya aku ditemukan dengan orang-orang yang baik, seperti teman-teman satu kost ku, terutama Dita. Kebetulan aku kamar ku bersebelahan dengan kamar Dita, bisa dibilang kita cukup akrab. Tenang saja, aku juga masih berhubungan baik dengan penghuni kos lainnya, Ayu, Difa, Nenden, Ais, Tomo, Biyu, Rendy, Arga, dan Satya. Iya, aku tidak tinggal kost-an khusus putri. Harga sewa murah dan fasilitas yang lengkap adalah alasan utama aku lebih memilih tinggal di sini. Bangunan kost yang kutinggali terdiri dari dua lantai memanjang. Lantai satu adalah rumah pemilik kos, lantai dua dihuni oleh anak-anak kost dimana ada sepuluh kamar, dengan tata letak saling berhadapan. Hampir mirip kamar-kamar di rumah sakit. Diujung lorong adalah dapur dengan dua kamar mandi, sebelah kiri untuk kamar mandi putra, dan sebelah kanan untuk kamar mandi putri. Letak kamar mandi juga saling berhadapan. sedangkan ujung lorong satunya adalah pintu utama dan tangga menuju lantai satu dan lantai atap. Anak-anak kost biasa menggunakan lantai atap sebagai tempat jemuran dan duduk santai, iyaa, ada sofa bekas yang sengaja diletakan disana oleh pemilik kost. Meskipun bekas, namun masih layak untuk menjadi alas menyaksikan lampu-lampu kota dumalam hari.

Selesai berurusan dengan kamar mandi dan roti selai yang tadi digondol Dita, aku memutuskan ke lantai atas, menjemur handuk dan beberapa pakaian yang kucuci selepas mandi tadi. Menggunakan ember 10 ribu 3 yang ku beli di Gasibu, aku membawa cucianku ke lantai atas, satu-satu kunaiki tangga, sapai diujung tangga, lagi-lagi suara seseorang, 

                 “Ada yang bisa saya bantu mbak?” 

Aku mendengar suara ini, suara yang sama dengan suara sebelumnya.
Maling coklat panasku. Satya. Aku bisa melihat cangkir yang sama yang dia ambil dariku tadi. Rupanya seluruh isi cangkir itu telah habis.

                 “Tidak pak, makasih,”

'Tolong'. Bagi seseorang sepertiku, meminta bantuan kepada orang yang belum ku kenal-dekat adalah hal yang sulit dilakukan, kecuali memang benar genting dan sudah tak ada pilihan lain. Anggap saja itu salah satu kelebihan dan kekuranganku. Benar, Aku memang tidak mudah akrab dengan banyak orang, dengan temen-teman putri satu kost aja aku cuma akrab sama Dita, meskipun masih berinteraksi dengan yang lain. dengan teman satu kost putra juga begitu, salah satunya Satya. Meskipun satu kampus, tapi aku dan dia beda jurusan meskipun masih satu prodi si.
pertama kali aku bertemu dengannya, saat survey kost tiga bulan lalu. sebelumnya aku memang tidak kost disini, tempat kost ku dulu cukup mahal, dan kurang nyaman karena satu kamar ditempati berdua, jadi aku diajak Dita pindah kesini. Balik lagi dengan Satya. Entah memang kepribadiannya yang ramah, "berisik" adalah hal pertama yang aku labeli darinya. Diawal bertemu, dia sudah banyak banyak mengobrol, ada aja topik dan pertanyaan yang diajukan. Dita yang lebih sering menanggapi, sedangkan aku lebih suka diam dan mengamati.

Hampir lupa dengan cucianku. Sekarang aku sudah berada di lantai atas, tempat biasa digunakan untuk menjemur baju. Aku menjemur pakaianku seperti biasa, hampir semua sudah ku angkat dari ember, sekarang giliran benda benda sakral, sangat pribadi. Aku jadi merasa rikuh. Jelas jelas ada orang lain, seorang laki-laki. Ayolah, apakah kalian bisa bayangkan bagaimana berada dalam situasi yang saat ini menimpaku. Bagi seorang yang tumbuh dari keluarga konservatif sepertiku, ini adalah benda pribadi yang tabu. Tentu kalian tahu maksud dari  arah pembicaraanku.

Posisiku berdiri berhadapan dengan Satya yang sedang duduk, terpaut dua meter. Aku bisa melihat cangkir ditangannya dengan jelas, dan kurasa dia sebaliknya, bisa melihat benda apa yang kupegang. Aku tidak mau itu terjadi. Lalu kenapa aku tidak membelakanginya saja? entah mengapa aku menyalahkan tuan pemilik kost ini, agaknyaa si tuan tidak memperhatikan design dan kegunaannya bangunan dengan benar. tempat duduk itu tegak lurus dengan jemuran. Dengan sangat hati hati aku mengambil benda sakral itu, melakukan hal yang sama seperti pada pakaian yang lainnya, sedangkan tatapanku tidak lepas dari ‘seorang laki laki’ yang duduk didepan, mengawasinya, memastikan dia masih bergaul dengan serangkaian kata-kata dalam kitab pada tangan lainnya.
                 
   Shit!
Sungguh situasi yang tidak mengenakan. Mirip adegan dalam laga James Bond, aku akan mengutuk diri jika didapati  tertangkap basah.
                        Satu, dua, tiga, aku melakukannya dengan baik, tapi tetap saja tidak membuatku merasa lega, masih ada beberapa benda sakral lagi yang harus kuselesaikan. Kuharap, Tuhan sedang dipihak ku.
                 Damn! Sekarang dia melihat kearahku.
                 “Mampus gue!” umpatku lirih.
Kupalingkan wajahku darinya, mengutuk diri sendiri. Kupejamkan mata, berharap menemukan ide-ide liar yang luar biasa, dia seketika menjadi tuna netra misalnya. Aku menarik nafas, mengumpulkan niat dan beberapa energi untuk kembali menggerakan kepala pada posisi sebelumnya. Dia masih melihat kearahku. Sekarang malah lebih memperhatikan. Aku jadi salah tingkah. Tidak melakukan apa apa saat itu, kecuali mencari ide.Tidak mau berdiam terlalu lama, harus segera kuatasi. Ayolah ide, atau suatu hal ajaib terjadilah sekarang. Tapi aku tahu itu tidak akan terjadi, jika aku diam saja tentu dia akan lebih heran. Oke mungkin tidak ada cara lain. 

                 “Sat, bisa hadap sana?”

Ah, kenapa harus kalimat itu yang keluar. Bukankah itu hanya akan membuatnya tambah curiga. Demi Tuhan sekarang aku benar-benar merasa seorang maling yang ketakutan.

                 “Kenapa?”

Mati. Dia malah membalikan pertanyaan. Tidaklah menurut saja. kubilang 'hadap sana' bukankah itu sangat jelas dan mudah ditangkap. Aku lupa, yang kulontarkan sebelumnya adalah kalimat tanya, bukan kalimat perintah. Harus apa ku jawab. Tuhan, cabut nyawaku sekarang. Wajahku ingin bersembunyi saat ini.  Jika kalian pernah sidang skripsi, kurasa posisiku sekarang lebih dari itu. Belum berhasil menyiapkan jawaban, dia sudah tersenyum aneh lebih dulu. Menggelikan. Tanda-tanda apa lagi ini?

                 “Benda sakral ya?” Kecut.

Dia bahkan mengucapkannya tanpa rasa canggung. Hei! Sunguh tidak ber-peri.
Apakah dia benar-benar menyadarinya, atau semua laki-laki akan merespon hal yang sama. Cepat sakali otak mereka bekerja. Kali ini aku benar-benar mengutuk diri. Bolehkah aku meloncat dari sini?

                 “Iyaa, hadap sana dong tolong!”

Aku gak bisa mengelak. Tidak mau ketahuan wajahku sudah menjadi tomat, ini adalah kali pertama dalam hidupku, Ya Tuhan, mimpi apaan aku semalam, apakah ini karma karena aku lebih suka buka youtube dan twitter daripada buka kitab suci? Cukup sekali dalam semasa hidupku saja. Aku tidak mau mengalami lagi. Aku mau taubat. Alih alih aku ingin segera mengakhirinya, segera aku turun, membayangkan sebuah drama, didalamnya aku terpeleset lalu kepala terbentur tembok putih didepan. Aamnesia.  Hilang semua kejadian memalukan yang telah terjadi, semua tentang benda sakral barusan. Aku, melupakannya. Tapi kurasa tidak bisa. Akan selalu teringat, walau aku tidak mau mengingatnya.
                 Aku menuruni tangga, melewatinya begitu saja, menuju kamar mungilku. Didalamnya aku bisa teriak walaupun tidak sepenuhnya terucap. Pikiranku masih pada kejadian tadi, benda sakral. Kenapa tidak bisa hilang begitu saja, semudah meniadakan sebuah berkas dalam computer. Klik delete, done. Hilang tanpa jejak, bahkan ingusnya ikut lenyap. Lalu ponselku berdering. Ada notif masuk.
                 “Aditya,” tertulis namanya disana.

Akhirnya, setidaknya aku akan sedikit lupa tentang benda sakral.


......



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Matahari

Sesama Sulung

Praktikum I